Jumat, 28 Juni 2013

Talking about Marriage

Sudah lama gak posting something di blog ini...
Dan sekarang saya kembali membawa sebuah topik yang cukup 'berat', yaitu tentang pernikahan. Well, sebenernya gak pengen terlalu eksplor mengenai masalah yang satu ini, karena bagi saya seorang wanita yang berusia 'rawan' ini membicarakan tentang pernikahan agak sedikit memberi tekanan dan kegalauan tersendiri.
Berbicara tentang pernikahan di usia saya yang September ini menginjak usia ke-25, memang sejujurnya membuat saya dan mungkin wanita seusia saya merasa agak sedikit tertekan. Mungkin bagi sebagian orang akan bertanya, kenapa bisa sampai membuat tertekan? Bukankah usia 25 masih relatif dikatakan masih muda dan belum terlambat untuk menikah? Yes! Itu betul. Tapi tahukah bahwa menginjak usia ke-25 segala sesuatunya terasa begitu cepat dan 'kritis'. Sebenarnya yang membuat tertekan itu bukan angka 25-nya, tapi lingkungan yang terus terusan memberikan pressure. 
Yap, berada di lingkungan teman-teman yang rata-rata sudah menikah, akan menikah, baru menikah bahkan sudah memiliki baby dan menjadi ibu muda itu yang membuat tertekan. Kenapa? Ya karena topiknya menurut saya yang masih melajang terasa berat. Berat karena bahkan saya tidak tahu harus mulai darimana menjalankan kisah saya seperti mereka yang begitu bahagia, sementara saya sendiri baru mengalami kisah yang begitu berat dan memberi tekanan yang cukup berat di beberapa hari terakhir ini.
Semua wanita memiliki impian yang sama: menikah dengan pria yang dia cintai dan begitu mencintainya. Begitupun dengan saya. Mimpi itu sudah kami pupuk sejak awal menjalin hubungan. Sampai tahun keempat kami masih mencoba menyempurnakan mimpi itu. Tapi, ketika semuanya mulai menjadi sempurna, tiba-tiba saja badai ujian menghantam tiba-tiba dengan begitu kerasnya.
Saya harus mengakhiri hubungan yang terjalin selama empat tahun ini, hubungan yang di dalamnya terdapat begitu banyak kenangan indah, begitu banyak mimpi dan angan yang indah, cita-cita yang indah, rencana yang saya anggap sebentar lagi akan menjadi nyata, tapi nyatanya hanya cukup menjadi rencana yang tidak pernah terwujud.
Sakit? Pasti. Kecewa? Jangan ditanya. Hancur? Tentu. Lega? Sedikit. Yap, semua rasa menyatu, positif dan negatif. Mixed feelings. Apalagi ketika permasalahan ini sudah menyangkut hati keluarga saya. Hati ibu, mamah dan bapak, yang saya tahu pasti mereka juga ikut bersedih. Orang tua manapun akan merasa ikut sakit dan sedih melihat anaknya 'jatuh' seperti ini. Kesedihan yang orang tua saya alami itu yang makin membuat saya merasa 'jatuh'. Karena saya merasa telah mengecewakan mereka. Sungguh saya tak sampai hati melihat orang tua sedih apalagi sampai menangis di depan mata dan mereka menangis karena tak kuasa melihat anaknya yang juga bersedih.
Saya coba keep semua perasaan ini. Saya mencoba menyelesaikannya sendiri. Saya coba kuat dan menahan air mata di depan mereka. Tapi nyatanya untuk masalah kali ini, saya tidak sekuat itu. 
Bisakah dibayangkan gimana rasanya jadi saya? Ketika sudah mulai membicarakan soal pernikahan dan membuat semua rencana menjadi nyata, tapi semuanya harus berakhir begitu saja. Bahkan berakhir hanya karena alasan yang menurut saya tidak cukup worth it sehingga harus mengorbankan hubungan jarak jauh yang sudah susah payah dibangun selama empat tahun ini??!
Kalau boleh saya ceritakan sedikit di sini, hubungan kami harus berakhir bukan karena masalah diantara pribadi kami berdua. Tapi karena orang lain diluar kami, orang tua, mantan-calon-ibu-mertua saya, tepatnya.
Di usia keempat tahun hubungan kami, entah kenapa tiba-tiba beliau mengatakan kalau tidak setuju jika hubungan kami dilanjutkan sampai pernikahan.Dengan berbagai alasan yang sayangnya tidak diungkapkan sendiri dan langsung kepada saya, tapi diungkapkan melalui anak laki-lakinya. Berbagai alasan yang menurut saya tidak masuk akal, tidak krusial dan sama sekali tidak worth it jika hanya karena alasan itu yang harus membuat kami mengakhiri begitu saja hubungan kami. 
Restu orang tua memang penting. Ketidakrestuan orang tua terhadap pernikahan anaknya saya rasa bisa digagalkan dengan perjuangan kami. Tapi saya merasa hanya berjuang sendiri. Saya kecewa, karena laki-laki yang selama ini mengajarkan saya tidak pernah putus asa dan tidak pernah menyerah untuk terus memperjuangkan sesuatu, bahkan tidak berjuang cukup keras untuk memperjuangkan saya dan hubungan kami di depan orang tuanya.
Dalam hal seperti ini, seorang laki-laki harus bisa tegas memperjuangkan dan mengambil keputusan demi masa depannya sendiri. Itupun kalau dia merasa hubungan kami memang worth it untuk diperjuangkan. Tapi dari kenyataan yang saya hadapi, saya sadar ternyata bagi dia mungkin hubungan yang kami jalani tidak cukup berarti. 
Dan akhirnya saya harus kuat menjalani semua ini. Life must go on. Mungkin hanya terhenti sekejap, tapi saya sadar saya tidak boleh larut dalam kesedihan dan keterpurukan ini. Saya yakin, semuanya akan indah pada waktunya. Allah mungkin punya rencana indah lain yang Dia siapkan untuk saya. Mungkin jalan saya di depan tidak akan lurus, penuh tikungan dan tanjakan, tapi saya percaya dibalik setiap tanjakan dan tikungan yang saya hadapi ada sebuah keindahan di dalamnya.
Dan pada akhirnya saya harus mengakui bahwa kesimpulan dari semua ini adalah: Tidak jodoh. Bukan jodoh. Belum waktunya. Pernyataan yang sederhana, jelas maknanya, tapi menyakitkan.
10 Hari berlalu, saya sudah merasa cukup kuat. Tidak ada lagi air mata, meski masih ada perasaan tidak percaya, kehilangan, kekecewaan dan luka yang masih menganga. Tapi saya harus realistis. Mungkin lebih baik berakhir sebelum menuju pernikahan daripada saya harus menjalani pernikahan yang penuh air mata. 
Mengutip sebuah buku tentang pernikahan AKU, KAU DAN KUA: 
" Apabila Anda ditinggalkan atau dikecewakan orang yang sangat Anda cintai, biarkan saja. Seharusnya Anda kasihan padanya. Anda hanya kehilangan orang yang tidak mencintai Anda. Sedangkan dia? Dia baru saja kehilangan orang yang sangat mencintai dirinya, andai ia tahu. Lalu untuk apa Anda tenggelam dalam rasa kecewa? Lanjutkan hidup. Anda lebih layak untuk mendapat pasangan hidup yang lebih baik."
 

Septina Priyanti's Blog Template by Ipietoon Cute Blog Design